Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

Bagaimana Menjadi Contoh dan Memberi Contoh

Salah satu hal yang terus memotivasi saya untuk mengajar di sekolah adalah melihat kebahagiaan yang terpancar dari wajah ceria para siswa dan siswi. Saat saya melihat mereka tersenyum dengan tulus di pagi hari, itu menjadi suatu kebahagiaan tersendiri. Mungkin, inilah cara Tuhan memastikan bahwa saya terus menikmati pengalaman mengajar di sekolah. 

Ketika saya tiba di sekolah, para siswa menyambut saya dengan senyuman hangat, sambil memberikan sapaan dan mencium punggung tangan saya. Bahkan saat saya meninggalkan kelas, dan terutama ketika pulang, mereka selalu dengan antusias menyapa dan menyalami saya. Kebersamaan seperti ini sungguh indah. Melalui pengalaman ini, saya semakin yakin bahwa mendidik memerlukan kehangatan hati.

Ya, senyuman. Itulah kuncinya. Ketika saya memasuki kelas dengan senyuman, itu seperti menyentuh hati mereka dengan kehangatan. Mereka mulai merasa nyaman, dan pembelajaran pun menjadi lebih menyenangkan. Namun, jika saya datang dengan wajah serius, itu hanya membuat mereka merasa jengkel, dan pelajaran tidak berjalan dengan baik.

Saya juga mulai menyadari bahwa menjadi contoh lebih sulit daripada memberi contoh. Memberi contoh dapat dilakukan melalui kata-kata atau penjelasan lisan, tetapi menjadi contoh berarti harus siap untuk menunjukkan sikap dan tindakan yang sesuai. Sebagai contoh, ketika kita ingin siswa-siswa melakukan salat berjamaah, bukan dengan hanya mengomel agar mereka melakukannya, tetapi dengan melangkah pertama ke masjid, maka mereka akan mengikuti tanpa perintah. Inilah kehebatan menjadi contoh.

Akhir-akhir ini, saya sering membuktikan bagaimana cara membuat anak-anak mau mengikuti keinginan saya. Caranya sederhana, saya melakukannya terlebih dahulu. Perintah bisa datang kemudian dengan lancar. Misalnya, jika saya ingin anak-anak membaca Al-Quran, saya akan mulai membacanya terlebih dahulu, lalu saya akan mengucapkan, "Ayo, buka Al-Quran." Saya tidak perlu menyuruh mereka membacanya, karena dengan senang hati mereka akan melakukannya.

Di sekolah, terkadang saya perlu menyuruh anak-anak untuk tetap diam, sementara saya sendiri terus berbicara, "Diam, semua orang, diam! Jangan berbicara seperti di pasar malam. Di mana kita berada?" Ironisnya, cara seperti itu malah mengundang mereka untuk berbicara. Sebaliknya, jika saya hanya diam, dengan tatapan serius, kelas akan menjadi hening. Setelah itu, baru saya bisa mengarahkan mereka ke materi pelajaran dengan penuh kewibawaan.

Namun, terkadang, saya juga membutuhkan sedikit humor. Ini tantangan bagi saya. Saya akan terus berusaha untuk menjadi guru yang lebih baik, semoga berhasil.

Post a Comment for "Bagaimana Menjadi Contoh dan Memberi Contoh"